Sunday, July 24, 2016
Kisah-Kisah
Kisah Fatimah Az-Zahra
Kisah
Putri Kesayangan Rasulullah SAW
Fatimah Az-Zahra
Kelahiran
Fatimah Az-Zahra
Fatimah
binti Muhammad,atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra(Fatimah yang selalu
berseri) (Bahasa Arab: ءاﺮﻫﺰﻟا ﺔﻤﻃﺎﻓ
) putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.
Siti
Fatimah Az Zahra r.a dilahirkan di Makkah, pada hari Jum’at, 20 Jamadil Akhir,
lebih kurang lima tahun sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi rasul. Siti
Fatimah Az Zahra r.a tumbuh besar di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah
kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya
perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Kelahiran
Fatimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan
nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra. Pemimpin wanita pada masanya ini adalah
putri ke 4, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fatimah yang
mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan
peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai penengah ketika terjadi
perselisihan antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali
Hajar Aswad setelah Ka’bah diperbaharui.
Fatimah
lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash
bin Rabi‘ dan Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari
Ummu Kultsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau
bersabda : ”Fatimah adalah darah
dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang
mengganggunya juga menggangguku.” [Ibnul Abdil Barr dalam
"Al-Istii'aab"].
Di
antara anak wanita Rasulullah s.a.w, Fathimah Az-Zahra r.a, merupakan wanita
paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak menjelang
kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaiman yang diucapkan oleh
Khadijah: “Pada waktu kelahiran Fartimah
r.a, aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk menolong.
Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah
menghianati mereka dengan mendukung Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut
luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan
lingkaran cahaya disekitar mereka mendekati aku”.
Ketika
mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku adalah Sarah, ibunda
Ishhaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri
Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh
Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia". Sambil
mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan memberikan
pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah r.a lahir."
Meningkat
usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau
menggantikan tempat ibunya dalm melayani, membantu dan memebela Rasulullah
s.a.w, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam
usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada berbagai macam
uji coba. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish
kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau basah oleh linangan air
mata kerana melihat penderitaan yang dialalmi ayahnya.
Fatimah
Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari
Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada
masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar,dan penyayang
karena dan tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya.
Rasullullah sering sekali menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika
Rasulullah pernah berkata " Fatimah
merupakan bidadari yang menyerupai manusia" Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia
dan penghuni syurga yang paling utama.
Pernikahan
Fatimah
Setelah
Fatimah r.a mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke
rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya
meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah SAW menolak
semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah).”[Tadzkirah
Al-Khawash, hal.306].
Kemudian,
Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah
menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib. Tak lama setelah itu, Ali datang
menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang
Fatimah. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya
seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali
bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan
keimanannya.
Sesungguhnya
aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik
mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan
pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?”
Fatimah diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda
kerelaannya.” [Dzkha’irAl-Ukba, hal. 29].
Rasulullah
saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya
berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi
barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alallah.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau
berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya
adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah
keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua
dan keturunannya dari setan yang terkutuk.” Rasulullah mencium keduanya
sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah
istrimu.”
Dan
kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai
Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu.” Acara pernikahan itu
berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang
bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya.
Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi
Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan tidak
setuju apabila Ali menjual perisainya.
Dengan
mas kawin hanya 400 dirham, dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat
dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat. Dan ’Ali pun menikahi Fathimah,
dengan menggadaikan baju besinya kepada Ustman bin Affan itulah, dan rumah yang
semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rosulullah berkeras agar ia
membayar cicilannya. Itu hutang.
Kemudian
Rosulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan
Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah
menikahkannya
dengan maskawin empat ratus fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.”.
Selanjutnya
Rasulullah mendoakan keduanya:
“Semoga
Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.”
(kitab
Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
Bersuamikan
Ali bin Abi Thalib bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta.
Karena Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang daripada empat sahabat yang
sangat rapat dengan Rasulullah merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding
dengan yang lain (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan).
Namun
jauh di sanubari Rasulullah tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat
mendalam terhadap Ali bin Abi Thalib. Rasulullah pernah bersabda kepada Ali bin
Abi Thalib, “Fatimah lebih kucintai
daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia.”
(HR Abu Hurairah).
Dengan
demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Fatimah mewarisi akhlak ibunya
Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata-kata atau
sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh
masalah suaminya.
Buah
Hati
Keluarga
Azzahra dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang kepada suami dan
anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah melahirkan putra pertamanya yang
oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas
kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan
iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun
kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan
keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Azzahra r.a. Rasul mengasuh kedua cucunya
dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa
mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila
Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau
pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah r.a. Tiba-tiba beliau mendengar
tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya
menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu
tahun berselang, Fatimah r.a melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun
lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan nama-nama tersebut. Dan
begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya
Fatimah Zahra.
Dalam
suatu kisah menceriterakan tentang keadaan rumah tangga Ali bin Abi Thalib yang
hidup miskin dan serba kekurangan setelah menikah dengan Fatimah binti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Wahai
anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang bermanfaat bagi
keluarganya”.
Itulah
jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan
keadaan keluarganya. Suatu ketika, Rosulullah keluar dari rumah Fatimah dengan
tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah
Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang
mengenakan giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang
terbuat dari bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan
menyerahkannya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata.
:
“Jadikanlah
semua ini di jalan Allah, ya ayahku”. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat terharu, dan bersabda; “Sungguh
kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan untuk
Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar
sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum setetespun”.
Bukannya
Ali bin Abi Thalib tidak mau menyediakan seorang pembantu untuk isterinya
tetapi memang keadaan kefakiranlah yang sedemikian rupa. Ali bin Abi Thalib pun
cukup memaklumi isterinya yang setiap hari menguruskan anak-anak, memasak,
membasuh dan menggiling tepung, dan yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa
mengambil air melalui jalan yang berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda
di bahu kiri dan kanannya. Suami mana yang tidak saying kepada isterinya.
Pada
suatu ketika bila Ali bin Abi Thalib berada di rumah turut menyinsing lengan
membantu istrinya menggiling tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,” bisik
Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan sudah
cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.
Suatu
hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati puterinya (Fatimah) yang
berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum dalam linangan air mata.
Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyedari kehadiran ayahanda
kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, “Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah
menggembirakanmu.”.
Dalam
nada sayu, Fatimah berkata,“Wahai
ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum
dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak
keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu
untukku?”.
Rosulullah
tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu. Dengan lafaz Bismillah,
Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Allah,
maka berpusinglah kisaran itu dengan sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur
dan merasa sangat gembira dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis
semua gandumnya dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada
arahan untuk berhenti, sehingga Rasulullah menghentikannya.
Bersabdalah
Rasulullah dengan kata-kata yang masyhur, “Wahai
Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun
ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat.” Jelas,
Rasulullah mau mendidik puterinya bahawa kesusahan bukanlah penghalang untuk
menjadi sholehah.
Ayahanda
yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang,
“Puteriku, mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa
yang kau pinta itu?”. “Tentu sekali ya
Rasulullah,” jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah bersabda:
“Jibril
telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah
membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu
Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’,
‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata
amalan itu telah memberi kesan kepada Fatimah. Semua pekerjaan rumah tangga
dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah.
Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa
mengingatiNya.
Suatu
hari masuklah Rasulullah menemui anandanya Fatimmah az-Zahra radhiallahu ‘anha
didapati anandanya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan
menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah
bertanya kepada anandanya, “Apa yang
menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, Semoga Allah tidak menyebabkan
matamu menangis”. Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan
rumahtanggalah yang menyebabkan ananda menangis”.
Lalu
duduklah Rasulullah di sisi anandanya. Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta
‘ali (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah untuk menolong ananda
menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar
perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati penggilingan itu.
Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan
diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
Penggilingan
tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah. Rasulullah meletakkan
syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan tangannya
sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada
Allah dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu
digilingnya.
Rasulullah
berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah”,
maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata
dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata.
Maka
katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasulullah, demi Allah, Tuhan yang
telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Kalaulah
baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya
hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah
suatu ayat yang berbunyi : “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”.
Maka
hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka.
Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai
Fathimah az-Zahra di dalam syurga”.Maka bergembiralah penggilingan batu itu
mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah
bersabda kepada anandanya,
“Jika Allah menghendaki
wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu.
Akan tetapi Allah menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan
dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa
derajat.
Ya Fathimah,
perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka
Allah menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu
kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah
perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka
Allah menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah,
perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka
dan mencuci pakaian mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala
orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian
kepada seribu orang yang bertelanjang.
Ya Fathimah,
perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan
menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah,
yang lebih utama dari itu semua adalah
keridhaan suami terhadap istrinya.Jikalau suamimu tidak ridha denganmu
tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa
ridha suami itu daripada Allah dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah?.
Ya Fathimah,
apabil seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah
para malaikat untuknya dan Allah akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu
kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit
hendak melahirkan maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang
berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil.
Apabila ia
melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada
hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan
dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya
menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Allah akan mengkaruniakannya
pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu
malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan
mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas
serta niat yang benar maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah
akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari
setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan
dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah,
perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya
dengan pandangan rahmat.
Ya Fathimah
perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau
menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru
dari langit (malaikat),
“Teruskanlah
amalmu maka Allah telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari
dosamu dan
sesuatu yang akan datang”.
Ya Fathimah,
perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan
kumisnya serta menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari
sungai-sungai sorga dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan
didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga seta Allah
akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia
melintas di atas titian Shirat”.(Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani).
Sekarang
apa rahasia Ali bin Abi Thalib mencintai Fathimah? Fathimah adalah teman karib
semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib
adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya.
Ali
bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan
tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah) pulang
dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan
dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang
ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para
pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang
Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali
bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah
laku Fatimah) disebut cinta?. Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa
Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu
Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah
mengujiku rupanya”,begitu batin Ali bin Abi
Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya
pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi.
Lihatlah
bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali
bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.
Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan.
Lihatlah
berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu
Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang
dibebaskan Ali bin Abi Thalib?
Dari
sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan
Fathimah. Ali bin
Abi
Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”,gumam Ali bin Abi Thalib. ”Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya
untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum
berakhir.
Setelah
Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah
dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin
berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari
takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.
Ya,
Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun
setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan
ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab
dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali
bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama
Abu Bakar dan Umar bin Khatthab..”
Betapa
tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab melakukannya?.
Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran
musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari
dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
Umar
bin Khaththab telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”,katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim,
atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’.
Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib),
sekali lagi sadar.
Bila
dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum
siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. Umar bin Khaththab
jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun ridha. Sekali lagi cinta tak
pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. Maka Ali bin Abi Thalib
pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab juga ditolak.
Ingin
menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin
Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang
seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang
kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn
’Auf yang setara dengan mereka.
Atau
justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan
itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”,
kalimat
teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.
”Mengapa
engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”
”Aku?”,
tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?”.
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah
menolongmu!”
Ali
bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk
menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah.
Ya,
menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat
kekanakan.
Usianya
telah berkepala dua sekarang.”Engkau
pemuda sejati wahai ’Ali!”,begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya
terjawab, ”Ahlan wa sahlan!”. Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun
bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk
menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah,
itu menyakitkan.
”Bagaimana
jawab Nabi kawan?
Bagaimana
lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa
maksudmu?”.
”Menurut
kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar
tolol! Tolol!”,kata mereka.
”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !”.
Dan
’ Ali bin Abi Thalib pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi
berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali
bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki
yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada
pemuda kecuali Ali!”.
Inilah
jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti
’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama
adalahpengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian. Ternyata tak kurang juga
yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,“Maafkan aku, karena sebelum menikah
denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”.
Ali bin Abi
Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku?
dan Siapakah
pemuda itu?”.
Sambil
tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena
pemuda itu adalah dirimu”.
Sekian
sepenggal Kisah Putri Baginda Rasulullah
SAW, Fatimah Az- Zahra Binti Muhammad SAW, semoga kita wanita muslimah mampu
meneladani Beliau.
Aamminn....
saya suka sekali membaca postingannya
ReplyDeleteexcavator bekas